Total Tayangan Halaman

Jumat, 23 Juli 2010

Suatu Sore, di Bawah Tiang Bendera




Keringat mengalir deras di tubuhnya yang hitam. Butiran-butiran putih tersebut menggelinding seperti air hujan yang terhempas pada batu hitam mengkilat. Terik matahari tidak di pedulikannya, hatinya yang hangus lebih tersiksa dari jasadnya yang kini bermandikan panas matahari. Seandainya ia perempuan, pasti ia juga akan menangis, tapi ia laki-laki. Laki-laki yang sudah biasa terhempas, disudutkan keadaan, di tikam kenyataan yang pahit. Perjuangannya tiga tahun ini berujung pada kekecewaan yang sangat menggoncangkan jiwanya.

Dua buah kata berbunyi “Tidak Lulus” yang tertulis di kertas pengumuman kemaren menghanyutkan puing-puing harapannya selama ini.

Dua kata tersebut menari-nari dengan lincah di kepalanya, selincah tangannya mengayunkan cangkul di lahan miring tempat ia menanam tanaman muda sejak tiga tahun yang lalu. Ia dilahirkan di sebuah perkampungan kecil Si Mandi Angin, 67 km dari desa Tambusai, kecamatan Tambusai, kabupaten Rohul, Riau, tempat ia bersekolah. Secara ekonomi, orang tuanya yang bekerja sebagai buruh harian tidak mampu untuk membiayai sekolahnya, tambah lagi kedua orang tuanya menganggap pendidikan hanyalah formalitas untuk orang-orang berada saja.

“Sekolah pun ujung-ujungnya bakal jadi kuli juga toh…,” nasehat yang mumpuni dari emaknya ketika ia mengemasi beberapa helai pakaian dan ijazahnya ke dalam kardus mie, di suatu pagi ketika ia akan berangkat ke Tambusai melanjutkan pendidikannya. Dalam hati ia yakin dengan pendidikan ia bisa merobah nasibnya dan Tuhan pasti mendengar doa pengembara yang sedang menuntut ilmu. Maka berangkatlah ia pagi itu dengan tatapan lusuh bapaknya yang karatan jadi kuli perkebunan toke-toke bermata sipit dari Pekanbaru.
Nasib baik menemani langkahnya. Tidak hanya diterima ia di sekolah tersebut, kepala sekolah juga memberinya pekerjaan sebagai penjaga sekolah. Ia adalah angkatan pertama dari SMA N 4 Tambusai tersebut. Pulang sekolah, dengan rajin ia membersihkan pekarangan sekolah dan pagi-pagi sebelum belajar dimulai ia menyapu lantai kelas dan kantor guru. Lahan kosong di belakang kelas yang dulunya ditumbuhi gulma disulapnya menjadi lahan produktif. Ia menanam ubi kayu, cabe rawit dan jagung bergantian. Hasilnya ia bagi dua dengan pihak sekolah. Lumayan juga penghasilannya, tiap bulan ia juga menerima honor sebagai penjaga sekolah.
Otaknya memang pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang bodoh. Tapi semangatnya  dalam mengikuti pelajaran sangat tinggi. Guru-guru yang belum seberapa, maklum sekolah baru, sangat menyayanginya. Rasa sayang sebatas manusia yang memiliki hati nurani, sebab untuk lebih dari itu, di luar kemampuan mereka juga. Mereka tidak bisa memberikan materi pelajaran sebagaimana yang dianjurkan pemerintah. Alat penunjang belajar sangat kurang, boleh dikatakan tidak ada. Sebab yang tersedia hanya ruangan kelas dan stempel dari diknas bahwa sekolah ini sudah boleh beroperasi. Buku-buku pelajaran, jauh panggang dari api.
Pernah juga suatu kali sorang wanita paruh baya berseragam pemda datang ke sekolah. Mereka menjanjikan buku yang dialokasikan dari dana BOS, tapi sampai saat ini buku tersebut tak kunjung datang barangkali sudah di pangkas ‘BOS-BOS’ yang jadi mafia di dunia pendidikan.
Suatu hari, datang juga seorang sales dari toko buku di Pekanbaru ke sekolah mereka untuk menawarkan buku-buku pelajaran yang beragam seperti yang dimiliki anak-anak sekolah di kota. Dugaan si sales tidak meleset, tak satu pun bukunya yang laku. Saprianto dan beberapa kawannya yang rata-rata anak buruh kasar perkebunan sawit hanya bisa menelan liur untuk memiliki buku tersebut.
Dengan segala keterbatasan akhirnya sampai juga ia di ujung perjuangan. Ujian Nasional (UN) diselenggarakan untuk pertama kalinya di sekolah tersebut. Kepsek dan majelis guru menyadari betul persiapan sekolah mereka untuk menghadapi UN. Guru-guru yang jauh dari standar kompetensi dan murid-murid yang tidak jenius karena dari kecil memang selalu kurang gizi. Sempat juga terlintas di benak mereka untuk mengambil jalan pintas. Membeli lembar soal, tapi rasanya juga tak mungkin. Dari mana mereka dapat uang  pengisi ‘amplop’ untuk bekerjasama dengan instansi terkait.
***
Menjelang tengah hari, Saprianto masih melayangkan cangkulnya. Tak peduli sudah berapa ember keringat yang mengucur dari tubuhnya. Ia terhenti ketika ujung cangkulnya membentur sesuatu. “Nah ini dia,” bisiknya dalam hati, ketika ia yakin menemukan carocok pondasi utama dari ruang guru yang dipisahkan oleh gang sempit dari ruang kelas.
Saprianto berjalan tergesa-gesa menuju bengkel las ketok bang Regar. Bengkel tersebut terletak di pinggir jalan raya tak jauh dari gapura perbatasan Riau dengan Sumut.
“Ene opo, Sap..” sambut bang Regar  berbahasa Jawa ketika Saprianto sampai di depan bengkel, maksudnya menyambut tamu beramah-tamah dengan memakai bahasa ibu si tamu tapi kedengaran lucu karena logat bataknya tak bisa lepas dari lidahnya.
“Rental pompa airnya lagi, bang!”
“Berapa jam?”
“Hitung-hitungan kali la abang ini, besok pagi kuantar lagi, sekarang sudah tengah hari. Hitungannya setengah hari jugalah bang…”
“Oke…” jawab bang Regar sambil berjalan ke belakang mengambil mesin pompa air merek robin. Sap sudah sering merental mesin di situ untuk tanaman-tanamannya.
Sap membawa mesin dengan gerobak sorong. Sampai di bekas galiannya tadi ia mengambil linggis. Sebenarnya ia sudah letih tapi ia paksa juga menghantamkan linggis ko podasi yang ia gali tadi. Setelah pondasi utama hancur ia mengalirkan air dari sungai kecil di belakang sekolah yang kira-kira 10 meter di bawah sana. Mesin pompa berkekuatan 25 pk ini menaikan air dengan enteng. Sap mengalirkan ke saluran-saluran yang dibuatnya.
Ia duduk termenung seorang diri di bawah sebuah pokok sawit. Dua hari sekolah sepi. Kepsek dan para guru tidak berani datang ke sekolah. 36 siswa sekolah tersebut, tidak seorang pun yang lulus. Mereka takut kalau-kalau murid-murid mengamuk. Tambah lagi beberapa kuli tinta sudah datang ke sekolah mereka, wartawan tersebut dengan senang hati akan mengekspos kegagalan mereka.
Tidak lama berselang ia trsenyum bangga. Bagian belakang bangunan sekolah mulai condong ke arah sungai, ia membiarkan mesin terus memompakan air berkekuatan tinggi ke pondasi sekolah yang sudah di obrak abriknya.
Atmosfir kecamatan Tambusai dinaungi mendung, tak lama kemudian hujan turun dengan lebat disertai petir sambar menyambar. Ia tersenyum makin lebar, gemuruh bangunan runtuh trdengar. Perlahan bangunan sekolahnya runtuh ke arah sungai.
Ia berlari-lari kegirangan di halaman sekolah, kemudian bersandar di tiang bendera, yang benderanya ia biarkan juga basah ku-yup seperti hatinya dan teman-teman sekelasnya, yang setiap senin melakukan upacara bendera dengan khidmat.
“Wartawan pasti akan segera berdatangan dan mewawancaraiku,” pikirnya dalam ha-ti. “Ini adalah moment yang tepat. Saat diwawancarai nanti aku akan akan berkirim sa-lam kepada menteri Pendidikan Nasional. Pak menteri pasti akan senang dapat salam dariku di hari Pendidikan Nasional yang akan diperingati beberapa hari lagi.” Senyumnya makin manis demi teringat jawaban-jawaban yang akan di berikannya kepada wartawan.
Ia membayangkan, ketika nanti ia melihat dirinya di tv, maka semua pejabat pemerintah, dan semua orang di seluruh Indonesia, bahkan dunia, akan tertawa keras sejadi-jadinya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar