Total Tayangan Halaman

Rabu, 28 Juli 2010

ketika takdir memisahkan kita

Rasanya sudah terlepas semua beban yang dirasakan Aurel, siswi kelas XII SMU Harapan Bangsa ini telah menyelesaikan Ujian Akhir Sekolah nya, kini ia hanya tinggal menunggu saat-saat yang paling dinanti-nantikan yaitu pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional (UAN).
Hari ini rencananya ia akan pergi hang out bersama Dava kekasih Aurel, mereka baru jadian selama sekitar satu bulan, jadi gak heran kalau sekarang ini mereka sedang merasakan sebuah cinta yang begitu indah di antara mereka. Tepat pukul 9.30 pagi Dava datang menjemput Aurel di rumahnya, yang beralamat di daerah Buaran Jakarta Timur.
“Sorry ya, pasti udah nunggu lama,” Dava membuka percakapan diantara mereka.
“Ah, nggak kok kamu datang tepat waktu, sesuai janji kamu,” kata Aurel.
“Ya udah jalan yuk.” Dava menggenggam tangan Aurel sembari berpamitan kepada orang tua Aurel.
Setelah selesai menonton film di 21, mereka memutuskan untuk segera kembali ke rumah. Hal itu dilakukan karena Dava harus berlatih band bersama teman-temannya. Dava adalah seorang gitaris di bandnya.
“Nanti malem ke sini ya,” Aurel meminta Dava untuk datang menemuinya.
“Hmm, kayaknya ga bisa deh, aku cape banget nih,” Dava mengeluh. “Besok malem aja yah,” lanjut Dava. Aurel hanya bisa mengiyakan kata-kata kekasihnya itu.
Bel rumah Aurel telah memanggil penghuni rumah tersebut untuk segera menyambut seseorang yang telah menunggu di depan pintu rumah itu. Tak lama kemudian Aurel pun keluar. Setelah ia membuka pintu, seseorang yang telah ia nantikan sudah berdiri di depan pintu pagarnya dengan segala pesona cintanya.
“Itu buku apa?” Dava menanyakan tentang sebuah buku yang sedang dipegang Aurel.
“Hmm, ini aku lagi coba-coba bikin puisi,” kata Aurel. “Kamu bisa bikin puisi?” lanjut Aurel.
Dava hanya tersenyum mendengar kata-kata Aurel. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Aurel segera menyerahkan selembar kertas dan pena kepada Dava. Dava segera menuliskan kata-kata yang terangkai dengan indah.
Setelah selesai menulis Dava segera menyerahkan kertas tersebut kepada Aurel dan meminta untuk membacakannya. Di bawah cahaya bulan purnama yang diselimuti langit malam dan berhiaskan gemerlap sang bintang Aurel membacanya perlahan-lahan.
Jika di dunia ini, ada banyak orang yang sayang sama kamu
Aku pasti salah satunya…
Jika di dunia ini, hanya ada satu orang yang sayang sama kamu
Orang itu pasti aku…
jika di dunia ini, Tidak ada orang yang sayang sama kamu
Itu berarti, aku telah tiada…

Aurel terdiam sesaat setelah membaca tulisan dari Dava, ia merasakan kata-kata tersebut masuk ke dalam relung hatinya yang paling dalam dan sepertinya sudah tidak bisa keluar lagi.
“Dava, kayaknya waktu kita untuk bersama udah gak lama lagi deh,” kata Aurel dengan nada yang sedih.
“Kenapa?”
“Rencananya aku mau melanjutkan kuliah aku di Australia dan itu berarti kita harus berpisah.”
“Walaupun hal itu harus terjadi, hubungan kita ini gak boleh berakhir, cinta ini gak akan bisa dipisahkan apapun kecuali kematian, aku percaya kamu Aurel.”
Kemudian Dava memainkan sebuah lagu yang diciptakannya sendiri khusus buat Aurel. Lagu itu mengalun dengan lembut, syairnya yang begitu indah, diiringi melodi gitar yang menusuk kalbu yang senantiasa menenggelamkan kegelapan malam. Lagu itu sepertinya menjadi sebuah tanda perpisahan bagi mereka.
***
“Aurel, ayo cepat nanti kamu ketinggalan pesawat,” teriak mamanya dari lantai bawah rumahnya. Aurel masih terdiam di kamarnya menunggu kehadiran Dava. Ia begitu resah karena Dava tak kunjung datang padahal ini hari terakhirnya di Indonesia. Sampai tiba saatnya Aurel pergi meninggalkan rumahnya, Dava tak juga datang. Air matanya pun tak lagi bisa terbendung.
Ternyata Dava sudah ada di bandara sebelum kedatangan Aurel. Di tangannya terlihat sebuah gitar lengkap dengan tasnya.
“Aurel, gitar ini aku berikan buat kamu sebagai kenang-kenangan dariku dan sebagai pengganti diriku jika kamu merindukan aku, dan aku mohon saat kamu kembali ke sini lagi kamu harus bisa memainkannya dan kamu harus bisa memainkan lagu yang waktu itu aku ciptakan buat kamu.” Dava menggenggam erat kedua tangan Auerel. Air mata jatuh membasahi pipi keduanya.
“Dava, aku janji aku pasti bisa melakukan itu semua. Sekarang aku minta berikan aku senyuman indahmu dan peluklah erat tubuhku seperti kamu tak akan pernah membiarkanku pergi, saat kukembali nanti aku akan menyanyikan lagu itu dengan gitar ini, aku janji.”
Mereka berpelukan erat seperti lupa akan segalanya. Dengan berat hati Aurel segera meninggalkan Dava menuju pesawatnya. Air mata tak henti-hentinya membanjiri wajah mereka.
***
Di Australia Aurel bertemu dengan Dimas, kebetulan ia adalah teman satu universitas Aurel yang kebetulan jua berasal dari Indonesia. Dimas dikenal sebagai seorang yang pandai memainkan gitar, hal itu tentu tidak disia-siakan Aurel untuk belajar gitar dengannya. Setiap harinya ia selalu menyempatkan diri untuk berlatih gitar dengan Dimas setelah jam kuliah selesai. Dimas sendiri juga tidak pernah merasa bosan saat mengajari Aurel bermain gitar.
Selama ini Aurel dan Dava masih suka berhubungan lewat e-mail dan terkadang Aurel menelpon Dava yang berada di Jakarta untuk sekedar menanyakan kabar dan bagaimana kuliahnya. Suatu sore ia datang ke apartement Dimas dengan sebuah gitar di tangannya.
“Kamu sudah mulai mahir main gitarnya,” seru Dimas. “Kenapa sih, kayaknya kamu ingin sekali bisa bermain gitar, kamu suka banget ya sama musik?” lanjut Dimas, sambil memberikan minuman buat Aurel.
“Sebenarnya aku kurang suka sama gitar, tapi ada sesuatu yang memaksaku agar aku bisa melakukan ini semua,” jelas Aurel.
“Apa itu?”
“Ah sudahlah, sekarang kita lanjutkan saja dulu. Setelah aku lancar memainkan lagu ini baru aku ceritakan semuanya sama kamu.”
Setelah sekian lama berlatih akhirnya Aurel bisa menguasai alat musik petik yang diberikan oleh kekasihnya itu. Ia juga sudah bisa memainkan lagu yang diberikan Dava untuknya.
“Sekarang kamu sudah bisa memainkan lagu itu. Kamu pernah janji sama aku kalau kamu sudah bisa memainkan lagu itu, kamu akan menceritakan padaku tentang apa yang terjadi dengan kamu di balik ini semua,” kata Dimas.
“Baiklah aku akan menceritakan ini semua sama kamu. Lagu ini diberikan dan diciptakan khusus untukku oleh orang yang sangat aku sayangi. Sebelum kepergianku ke sini, ia memberikan aku sebuah gitar dan selembar teks lagu lengkap dengan susunan nada-nada nya. Ia memintaku untuk bisa memainkan lagu ini dengan gitar yang ia berikan. Sebentar lagi aku akan menemuinya karena aku belajar di sini hanya sampai bulan depan.”
***
Setelah dua tahun kuliah di Australia, kini tiba saatnya bagi Aurel untuk kembali ke Indonesia. Ia sudah lama menantikan saat-saat kepulangannya ini. Ia sengaja tidak memberitahukan Dava tentang kepulangannya dari Australia karena ia ingin memberikan sebuah kejutan untuk Dava.
Sebelum ke bandara ia terlebih dahulu datang ke apartement Dimas untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar nya, karena Dimaslah ia bisa main gitar dan bisa memenuhi janjinya terhadap Dava. Dimas juga bersedia mengantarka Aurel ke bandara.
“Good bye. Never try to forget me!” Itulah salam perpisahan dari Dimas.
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, Aurel akhirnya sampai di bandara. Di sana ia dijemput kedua orang tuanya. Aurel tampak begitu lelah, oleh karena itu mereka segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah Aurel segera menghempaskan tubuhnya ke kasur yang telah lama ia rindukan.
“Aku akan segera manemuimu,” kata Aurel dalam hati sesaat setelah ia melihat gitar pemberian Dava yang sedang bersandar di dinding kamrnya. Gitar itu seakan tersenyum melihat Aurel.
Keesokan harinya Aurel pergi untuk menemui Dava. Ia pergi ke tempat di mana Dava biasa bermain band, tak lupa ia membawa gitar pemberian Dava. Ia ingin memberikan sebuah kejutan buat Dava. Namun studio yang biasanya ramai dikunjungi teman-teman Dava sore ini tampak sepi tak seperti biasanya. Dava sendiri juga tak terlihat batang hidungnya. Aurel tampak kecewa dengan hal itu, ia memutuskan untuk kembali ke rumah nya.
Aurel kini mencoba untuk langsung menemui Dava di rumahnya. Ia menyanyikan lagu yang diciptakan Dava di depan pagar rumah Dava seperti seorang pengamen. Tak lama kemudian seseorang keluar dari rumah tersebut.
“Aurel, kapan kamu sampai di Jakarta?” tanya ibunda Dava sembari mengajak Aurel masuk.
“Hmm, dua hari yang lalu, Tante.” Aurel sedikit kecewa karena bukan Dava yang menyambut kedatangannya.
“Dava ke mana, Tante? Kok dari tadi belum kelihatan?” Aurel tak bisa menyembunyikan kerinduannya terhadap Dava.
Namun ibunda Dava tidak menjawab pertanyaan Aurel. Ia justru terlihat meneteskan air mata yang jatuh membasahi kedua pipinya. Entah apa yang sedang ia pikirkan sehingga ia meneteskan air matanya, lalu ia memeluk Aurel dengan begitu erat.
“A..ada apa, Tante?’ tanya Aurel dengan nada yang terbata-bata karena heran.
“Aurel, dua bulan yang lalu Dava pergi, namun ia pergi tidak seperti kamu yang hanya pergi ke Australia dan hanya untuk sementara, tapi Dava pergi ke lain dunia dan ia juga pergi untuk selama-lamanya.” Air matanya semakin mengalir deras.
“Da…Dava meninggal, Tante?” Bagai tersambar petir di siang bolong Aurel kaget hingga ia nyaris pingsan setelah ibunda Dava mengiyakan pertanyaannya.
“Tante, ceritain Aurel kenapa semua ini bisa terjadi, dan Aurel mohon, Tante tunjukkan di mana Dava dimakamkan, Aurel ingin ke sana sekarang juga!” Betapa sakitnya hati Aurel saat ini, ia seperti orang yang sudah tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Setibanya di pemakaman ia langsung memeluk makam Dava, sungguh sebuah kesedihan yang mungkin tidak akan pernah bisa disembuhkan.
“Kenapa kamu pergi? Kamu janji akan menunggu aku pulang dan aku sudah memenuhi janjiku untuk bisa memainkan lagu darimu dengan gitar yang juga pemberian darimu, tapi kenapa…… kenapa kamu pergi untuk selama-lamanya dan meninggalkan aku sendiri, membiarkan aku hancur karena kehilangan kamu.”
“Aurel, cukup, relakan dia pergi! Kita harus pulang sekarang hari sudah semakin sore, Dava akan bahagia di sisi-Nya.” Mereka pun berlalu meninggalkan makam Dava. Namun sebelum pulang ibunda Dava memberikan Aurel sebuah surat yang ditulis Dava sebelum kepergiannya.
“Ini surat dari Dava, kamu bacanya di rumah saja. Ia berpesan cuma kamu yang boleh membuka surat ini,” jelas ibunda Dava.
Aurel, terima kasih karena kamu sudah menepati janji kamu dan maaf aku nggak bisa nepatin janjiku sama kamu. Aku nggak bisa melawan penyakit yang telah aku derita sejak kecil. Kamu harus mengerti Aurel semua ini bukan keinginanku, semua ini kehendak Tuhan. Aku nggak bisa berbuat apa-apa karena aku yakin ini yang terbaik darinya untuk aku juga utuk kamu.
Kamu harus merelakan kepergianku. Aurel, nyanyikanlah lagu itu ketika kamu merindukan aku, percayalah aku akan selalu hidup di dalam hatimu.
Begitulah isi surat dari Dava. Tak terbayangkan lagi berapa banyak air mata yang telah dikeluarkan Aurel hingga membasahi lantai kamarnya. Setelah kejadian itu Aurel hanya bisa melewati hari-harinya dengan berdiam diri dengan memegang gitar pemberian Dava.

Jumat, 23 Juli 2010

cemburu


Suara azan subuh tlah berkumandang dari surau Al-Karimah. Kokok Sang ayam pun berbunyi nyaring bersautan. Suara – suara nan merdu itu membangunkan gadis berjilbab yang cantik jelita. Fatimah Azzahra itulah namanya. Mendengar suara azan, Azza segera mengambil wudhu dan mendirikan sholat berjamaah di surau Al-Karimah. Usai sholat, Azza tak lupa untuk belajar karena hari ini adalah hari terakhir UNAS. Jam tlah menunjukkan pukul 06.30. Azza berpamitan kepada kakaknya untuk berangkat sekolah.
“Kak, Azza pergi dulunya. Assalamualaikum” Pamit Azza
“Walaikumsalam. Titi DJ ya !” seru kakaknya
“Ok kak!” sahut Azza
Dengan senyum yang mengembang dibibirnya, Azza mengendarai Honda Jazz
biru kesayangannya. Angin berhembus sepoi – sepoi, embun pagi pun tak mau
ketinggalan menambah kesejukan udara pagi.
“Morning, cewek. Ngelamunin apaan nih ?” sapa Azza pada Azura.
“Eh, Kerjaan mu tu ngagetin aku aja.”sahut Azura teman sebangkunya.
“Afwan, Azura yang cute. Aku kan just kidding.” kata Azza.
“Ya de aku maafin. Jangan nangis ya, cup – cup – cup. Ntar aku dikira ngapa –
ngapain kamu. He..he..he…” jawab Azura.
“Ye..malah ngeledek.” Kata Azza dengan wajah cemberut.
Tet..tet..tet suara bel yang meraung – raung menghentikan percakapan mereka.
“Za, don’t forget ntar aku nyontek kamu ya?” kata Azura.
“Azura my honey, my sweety nyontek itu dosa tahu,” jawab Azza.
Jam menunjukkan pukul 11.45. Inilah detik – detik terakhir ujian nasional. Tepat
pukul 12.00 bel pulang sekolah berbunyi.
“Za, aku nebeng kamu ya?” kata Azura
“Tumben kamu, emang kenapa Si Virgo gak jemput kamu?” Azza balik bertaya.
“Allah, cerewet banget. Ayo come on kita pulang!”
Tanpa dikomando Azza segera tancap gas.
“Gimana kabarnya Virgo, Ra ? tadi kan kamu belum jawab pertanyaanku.” tanya
Azza.
“Dia baik – baik saja. Cuma seminggu ini dia sibuk belajar buat menghadapi ujian
nasional.” jawab Azura.
“Kalau gitu kamu BKS dong ?” gurau Azza.
“Eh bahasa apaan tuh ?”
“BKS itu buth kasih sayang. Kan udah seminggu kamu nggak ketemu Virgo. “
canda Azza.
Ciit ……….tiba-tiba suara rem mobil Azza berdecit kencang mengagetkan Azura.
“Astagfirullah, kamu ngapain Za ngerem mendadak? Nabrak kucing ya? “ sewot
Azura.
“Lihat Non….ni dah nyampe rumahmu.” seru Azza.
“O……dah nyampe rumahku ya. Makasih ya Za, da……….” Azura melambaikan
“Sebelumnya aku minta maaf ya Kieb. Sebenarnya aku juga suka kamu tapi aku
tidak bisa menerima rasa cintamu. Lebih baik kita sahabatan saja.”
Hati Syakieb pun sedikit kecewa dengan jawaban Azza tapi dia harus menerima
itu.
“Nggak pa-pa Za. Jadi mulai sekarang kita sahabatan.”
Sejak itu mereka sering belajar bareng, smsan maupun nelpon, dan hang out bareng. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tanpa diduga uminya meninggal dunia. Kejadian itu membuat Azza lebih suka berdiam diri. Untung ada Azura yang menghibur dan menemaninya. Baru saja Azza mulai bangun dari keterpurukkannya kabar tidak enak kembali dia dengar. Tanpa sepengetahuan Azza, Syakieb menderita kanker otak yang telah merenggut nyawanya. Untuk kedua kalinya Azza mendapat cobaan yang begitu berat. Tetapi. Azza sadar bahwa dibalik semua itu Allah mempunyai rencana besar untuknya. Dia berpikir bahwa Allah memberikan cobaan itu karena Allah sayang padanya.
Tanpa terasa Azza tertidur bersama Teddy Bearnya dan kenangan itu.
***
Hari sabtu di sekolah….
“Eh Ra, Azza mana? “ tanya Kak Aulia.
“Aku tidak tahu Kak.” Jawab Azura
Tiba – tiba Azza muncul…
“Za kamu tu kayak jelangkung aja. Datang tak diundang pulang tak diantar. Dari
mana aja sih kamu?”
“Tadi aku TTM.”
“Apaan tu bahasa kok TTM?”
“TTM itu tiba – tiba mules.”
“Udah – udah jangan ribut.”
“Za kamu pengen tahu hasil ujianmu tidak ?”
“Ya iyalah mau, nggak pakai ya iya dong.”
“Nih hasil ujianmu. Kamu tahu nggak? Kamu dapat peringkat pertama se-SMA di
Jakarta. Selamat ya adikku sayang!”
“Alhamdulilah, terima kasih ya Allah atas semua ini!”
Azza mengajak Azura dan Kak Aulia ke restoran bakso keju milik Pak Kriting untuk merayakan keberhasilannya. Keluarga Azza juga menggelar syukuran dirumahnya bersama para tetangga dan anak yatim piatu. Hujan gerimis menetes membasahi bumi menjadi saksi bisu kebahagiaan Azza. Hati yang kelam karena kehancuran dan keterpurukan kini tlah bersinar dengan secercah harapan baru yang begitu indah.

Aku menangis di kuburanmu


    Suara kicau burung mulai membangunkan fiki di pagi dingin di hari minggu. Setelah mencuci mukanya dengan air sejuk kemudian ia membuat secangkir jeruk hangat untuk menemaninya membaca majalah pagi edisi minggu.
    seperti biasa ia selalu mencari beberapa pekerjaan di kolom lowongan kerja. fiki yang akrab dipanggil kiki ini tidak memiliki pekerjaan tetap, dia hanya seorang penulis kecil untuk harian pagi. Ketika ia memiliki atau membuat sebuah tulisan yang bagus maka akan ia kirimkan ke redaksi harian pagi itu dan mendapatkan upah yang sesuai dengan karyanya.
    Pada malam minggu terkadang kiki mengunjungi pacarnya Ita yang tinggal di Perumahan Karyawan yang tidak jauh dari rumahnya. ita memang termasuk keluarga yang berada, berbeda dengan fiki yang hidup dalam kesederhanaan. Namun orang tua ita tidak melarang hubungan mereka. Meski dari keluarga yang berada, tapi ita tidak memilih-milih teman. Karena itu fiki sangat menyayanginya dan rela melakukan apa saja agar pacarnya tersebut bahagia.
    Malam hari tiba, waktunya untuk makan malam bersama antara mereka berdua. Namun saat makan malam berlangsung, hidung ita mengeluarkan tetesan darah kental. Saat itu fiki khawatir namun ita hanya bilang kalau itu mimisan biasa. Mendengar itu kekhawatiran fiki berkurang. Suatu minggu pagi mereka berjalan di taman kota namun tiba-tiba ita jatuh pingsan, saat itu ia langsung dibawa fiki ke rumah sakit terdekat. Setelah diperiksa oleh Dokter yang bersangkutan Ita divonis menderita kanker otak. Hal itu diberitahukan oleh Dokter ke ita. dan dikatakan bahwa umurnya tidak akan lama lagi. “Dok, saya harap dokter tidak memberitahukan hal ini pada pacar saya yang sedang menunggu di depan. Karena saya tidak ingin melihatnya sedih,dok” pinta ita pada Dokter tersebut.
Setelah Dokter keluar dari ruangan,
Gimana, dok, keadaan pacar saya,dia baik baik aja kan dok?” fiki.
O…gak papa . Pacarnya baik-baik aja kok. Hanya terkena anemia atau kekurangan darah. Makanya dia sering letih dan pingsan,” jawaban Dokter pada fiki.
 
“Lalu, gaimana, dok?aku khawatir banget sama diya??” tanya fiki lagi penasaran.
Hmmm… gini aja biar dia istirahat beberapa hari , jangan diganggu dulu…” saran Dokter pada fiki lalu masuk ke dalam ruangan.
    Dokter meminta agar ita tabah dan sabar serta banyak berdoa agar datang suatu keajaiban nanti dan segera diminta memberitahukan kepada kedua orang tuanya tentang penyakit yang sedang di deritanya tersebut. Dan juga untuk tidak berhenti berobat ke spesialis-spesialis kanker otak.

    Akhirnya fiki mengantar ita pulang kerumahnya dengan sepeda motor. Sampai di depan teras, ita mengucapkan 
“malam ki……. hati-hati di jalan ya??”, begitu pula juga fiki berpesan agar ita banyak beristirahat.
    Malam harinya setelah selesai makan malam bersama keluarganya, Ita menceritakan yang terjadi terhadap dirinya kepada kedua orang-tuanya. Ita merupakan anak satu-satunya di keluarga tersebut, jadi wajar ia sangat disayang oleh kedua orang tuanya.
    Mendengar apa yang disampaikan oleh anaknya tersebut kedua orang tuanya sangat sedih dan khawatir, dan segera berusaha bagaimana agar anaknya bisa cepat sembuh.
    Sudah seminggu sejak pengobatan ita yang tidak diketahui oleh fiki. Bahkan ketika fiki menelpon untuk menanyakan keadaannya, tidak pernah diangkat.  Sms fiki tidak pernah dibalas. Sampai suatu hari Ita menelpon fiki agar datang ke rumahnya.
    Sesampainya di rumah Ita, fiki dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Orang tua Ita memperhatikan di atas tangga. Ita juga pernah berpesan pada orang tuanya untuk tidak memberitahukan penyakit yang dideritanya pada fiki sampai kapanpun.
    Dengan pucat Ita meminta fiki mendengarkan ucapannya dengan serius. “fik??,aku mau minta maaf kekamu?? aku minta kamu jauhi aku mulai saat ini…” pintanya dengan nada sedih.
Kenapa,,,ta??kamu ada masalah dengan ku???” tanya fiki penasaran.
 
“Aku mau ke luar negeri fik….. dan Orang tuaku ingin aku hidup dengan oseseorang yang sukses… ku harap kamu bisa berusaha keras dan kembali padaku dengan kesuksesan yang kamu raih…kamu bisa kan fik …pliss…demi aku????”
    Mendengar itu fiki merasa terpukul dengan keadaan dirinya. Setelah fiki pulang. Imel menangis di dalam kamar dar berdoa dalam hatinya
”ya tuhan…..maafkan aku?...aku tidak ingin semua initerjadi,dan andai semua ini terjadi ku mohon????kuatkan hati fiki orang yang ku sayangi… jangan biarkan dia bersedih tuhan…………..”doa ita.
    Setibanya di rumah, fiki murung dan memikirkan ucapan yang telah dikatakan ita kepadanya.dan Itu menjadi sebuah penyemangatnya setelah pisah dari ita. Ia bertekad untuk berusaha dan menjadi orang yang sukses, setelah itu ia akan kembali untuk membuktikan pada orang tua ita, kalau ia mampu untuk menjadi orang yang sukses.
    Hampir setiap hari ia mencari pekerjaan, hingga suaktu ketika ia putuskan untuk menjadi seorang pengamen demi ita,hari demi hari ia tempeuh dengan menyanyi dari tempat ke tempat,mapai suatu keika Harian Pagi yang sering ia kirimi tulisan sedang mencari orang untuk menjadi wartawan tetap. Dimulainya karir menjadi seorang wartawan, karena kerjanya yang gigih dan memuaskan kemudian fiki diangkat menjadi pe-mimpin redaksi yang mengelola harian pagi tersebut. Namun ketertarikannya terhadap menulis tidak pudar, ia mulai membuat novel tentang kisah hidupnya yang ia angkat menjadi cerita yang menarik. Novel yang ia buat laku keras dan terkenal di seluruh nusantara bahkan sampai ke Malaysia. Novel tersebut juga sempat dibaca oleh ita, ia senang fiki kini sudah mulai sukses. Kini fiki tidak lagi bekerja sebagai pengamen ataupun di harian pagi seperti biasa, kini dia telah menjadi penulis terkenal dan kaya raya. Namun, apa yang telah ia raih kini tidak membuatnya lupa dari mana asalnya. Dia tidak sombong dan selalu membantu orang-orang yang kesusahan.
    Pada hari minggu, seperti biasa fiki pergi untuk berlibur pulang ke rumahnya di kampung, namun cuaca agak sedikit mendung, namun tak menjadi halangan karena ia membawa mobil.Dia berangan angan
”semoga ita akan menerimaku lagi ………..dan aku akan mengajaknya berlibur ke paris tempat yang ia impi impikan…………. ,aku akan membuatnya senang” 
.Ketika mobilnya lewat di depan rumah ita, ia hanya mendapati rumah tersebut sudah disegel dan tak berpenghuni lagi. Kebetulan rumah lama fiki berada di sekitar pemakaman umum, ia melihat kedua orang tua ita berjalan kaki dengan baju yang kusam dan membawa sekeranjang bunga. Ia tidak membalas apa yang pernah dikatakan Ita dulu padanya. Ia bertanya mau ke mana kedua orang tua tersebut. Karena merasa kasihan pada fiki kedua orang tua Ita pun melupakan janji mereka untuk tidak mengatakan keadaan anaknya yang sebenarnya.
maaf nak fiki… sebenarnya??”
sebenarnya apa te??.......bagai mana dengan keadaan ita???baik kan..???”sahut fiki.
nak fiki,sebenarnya ita sudah pergi….dia pernah berpesan agar tidak berkata yang sebenarnya ke nak fiki …”
Ada apa te ita pergi kemana ??aku ingin bertemu dya aku kangen padanya…?”
dia telah meninggal fik,dia menderita kanker otak dan dia tidak ingin kamu sedih karna mengetahui keadaannya,karna itu dya menyuruhmu pergi dari dya nak fiki,maaf ibu baru sampakan sekarang ini atas permintaan ita..Kami telah berusaha untuk kesembuhannya, seluruh harta kami jual agar anak kami bisa sembuh, tapi Tuhan berkehendak lain,” ucap orangtua ita dengan sedih.
    Setelah mendengar apa yang telah disampaikan orang tua tersebut, fiki jatuh lemas terdiam. Sejenak ia membayangkan wajah Ita tersenyum padanya, terbayang pula segala kisah yang pernah mereka lalui bersama dan serta kebahagyaan yang mreka lewati berdua,dan kini semuanya telah hilang untuk selamanya.fiki meminta orang tua ita untuk mengantarkannya ke kuburan Ita.
    Di sana segunduk tanah dan batu nisan bertuliskan nama Ita Cyanti. fiki menatap foto yang ada di kuburan tersebut dengan mata ranum, foto yang tersenyum padanya. Meninggalkan berjuta kisah kasih yang pilu, air mata fiki jatuh untuk ke sekian kalinya, menangisi kepergian kekasih yang sangat ia cintai Ita Cyanti.


bY:froger

TEDUH yang TELAH PERGI


“Pagi hari, di kediaman keluarga darmawan…..

“Ya….. masa Dinda ke skul harus naik angkot sich, Bun?”

”Hari ini Pak Kosim nggak bisa ngantar. Karena anak nya lagi sakit, dan semalam dia izin pulang. Udah,  sekali-kali kamu berangkat naik angkot, napa? Buruan sana berangkat, ntar kamu telat lho!!!”

”Ya udah dech….Dinda pergi dulu ya, Bun!”
Hari ini adalah hari yang menjengkelkan bagi Dinda. Karena supirnya harus nemani anaknya di rumah sakit. Alhasil dia harus berangkat ke skul naik angkot.

”Duh Bunda ne, kenapa nggak nyari orang lain sich buat nganterin aku, terpaksa dech aku naik angkot. Mana panas lagi.”

Saat dia lagi sibuk mengoceh, tiba-tiba muncul cowok yang cakep banget duduk tepat di sebelah Dinda. Dan jantung Dinda hampir aja copot saat tu cowok senyum dengannya.
Dinda ngerasaain perasaan yang lega dan semua kekesalannya hilang seketika. Karena senyum cowok itu sangat manis, apalagi ditambah dengan sorot matanya yang teduh banget, yang dapat menutupi rasa sakit yang udah lama tertahankan olehnya.

Seharian ini kerja Dinda hanya senyum-senyum sendiri, bundanya aja malah nganggap kalo Dinda kesambet setan halte bus.

”Duh….tu cowok manis banget ya…… saat gue liat mukanya, gue ngerasa kalo beban gue naik bus itu musnah semua. Sapa ya nama tu cowok? Rasanya gue pengen banget kenalan ama tu cowok. Py gue malu. Hm…. gue kasih  nama “Teduh” aja dech… Coz matanya tu teduh banget. And mulai besok gue bakalan naik bus dech… coz gue pengen ngeliat muka tu cowo lagi” pikir Dinda yang masih nggak berhenti memikirkan cowok tadi, dan akhirnya dia tidur sambil berharap bisa menemukan cowok itu di mimpi indahnya.
Paginya….

“Bun, Dinda pergi skul dulu ya…!!!” pamit Dinda sambil mencium pipi bundanya

“Lho Din, kamu nggak nunggu Pak Kosim dulu?”

”Nggaklah Bun, hari ini Dinda pengen naik bus aja….da Bunda,” ucap Dinda sambil berlari meninggalkan rumahnya.
Sesampainya di halte bus…..

”Duh si teduh mana ya? Kok belom datang sich?” batin Dinda gelisah karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.
Tapi baru saja Dinda gelisah dengan pertanyaan yang ada di hatinya, tiba-tiba muncul seorang cowok yang bermata teduh. Cowok itu tersenyum dan menyapa Dinda.

 ”Hei….. Kamu baru naik bus ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat Dinda terpaku.

”Lho koq diam?”

”Eh….sorry…. tadi kamu bicara apa?”

”Aku tanya, kamu baru naik bus ya? Soalnya aku baru ngeliat kamu semalam”.

”Ha…, oh iya…..nam…..” belum Dinda menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba bus yang menuju ke sekolah Dinda datang.

”Eh… tu bus kamu udah datang”.

”Oh iya….hm… aku berangkat duluan ya…,” pamit Dinda yang dibalas dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah Dinda berat banget buat ninggalin ”teduh” nya itu.
***

Sudah sebulan Dinda bertemu dengan cowok pujaan hatinya itu. Tapi nggak pernah sekalipun dia berani berkenalan dengan ”teduh”. Jangankan berkenalan, menyapa saja dia tak berani. Sampai akhirnya suatu hari Dinda memberanikan diri untuk berkenalan dengan ”teduh” hari ini. Tapi orang yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Dan Dinda nggak sadar kalo itu adalah pertemuan terakhir dengan ”teduh” nya itu.
***

Seminggu sudah Dinda menanti sang pujaan hati, tapi ”teduh” tak kunjung datang. Dan seminggu pula Dinda melewati hari-harinya dengan tidak bersemangat. Berbeda saat dia baru bertemu dengan ”teduh”.
Suatu pagi, saat ia menunggu bus untuk terakhir kalinya. Kursi yang biasa di duduki ”teduh” sudah di duduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya dan mukanya juga sangat mirip dengan seseorang yang sangat dirindukan Dinda. Tapi dari raut mukanya, tampak sekali kalo beliau sedang bersedih. Tiba-tiba ibu itu menyapa Dinda dengan ramah:

” Lagi nunggu bis ya, Dek?” sapanya ramah

”Iya Bu….”

”Kalo anak saya masih hidup, dia mungkin duduk di sini dan nungguin bus juga kayak kamu!”

”Lho….memangnya anak ibu kemana?”

”Anak saya udah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali lagi”.

”Maksud Ibu dia pindah ke luar kota ya?”

“Bukan nak, dia udah meninggal dunia”.

”Oh…maaf ya Bu….”

”Nggak apa-apa koq dek….. dia tu punya mata yang teduh sekali, setiap orang yang melihatnya pasti bakal tenang dan lega.”

”Sayang ya Bu, sayang saya tak bisa melihat mukanya. Tapi dari cerita ibu, saya ngerasa dia mirip banget ama seseorang.”

”Hm…..kebetulan saya selalu membawa fotonya.” jawab ibu itu sambil menyerahkan foto anaknya.

”Oh ya…. sebelumnya ibu ingin minta tolong sama kamu, bisa nggak kamu membantu ibu?”

”Apa yang bisa saya bantu Bu?”

”Di belakang foto itu, anak saya menuliskan surat terakhirnya. Dan dia berpesan agar surat itu diberikan kepada seorang cewek yang bernama Dinda. Kalo adek kenal, saya minta tolong sekali supaya adik bisa menyampaikannya kepada Dinda.” pesan terakhir ibu itu dan langsung meninggalkan Dinda dengan perasaan binggung dan deg-deg-an, karena ia takut kalo cowok itu ternyata……….

”Halo Dinda….mungkin kamu bertanya-tanya mengapa aku tahu namamu…. itu  karena aku sengaja melihat namamu….. Andai saja aku masih hidup, ingin rasanya aku berkenalan denganmu. Ingin rasanya aku lebih dekat denganmu, tapi aku tak berdaya menahan sakitnya kepalaku ini. Sekarang aku percaya dengan cinta pada pandangan pertama, karena aku ngerasa aku sudah jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu. Tapi aku ngggak punya keberanian buat ngungkapinnya.

Karena kita belum saling kenal, tapi sekarang aku lega, karena sebelum aku meninggal, aku bisa mengungkapkan perasaan ku ini, walaupun hanya lewat sepucuk surat. Dan sekarang aku bisa meninggalkan dunia ini tanpa beban memendam perasaan ini lagi. Terima kasih karena kamu bisa mengajari aku tentang rasanya jatuh cinta. Dan menambahkan semangatku untuk hidup lebih lama.
Dariku Reza”.

Saat melihat foto dan membaca surat itu, air mata Dinda tak dapat di tahan lagi. Ia merasa lemas saat melihat sosok pria yang memiliki mata teduh itu. Sepasang mata yang membuatnya menanti selama sebulan. Membuatnya rela panas-panasan menunggu angkot, dan membuatnya selalu bersemangat melewati hari. Lalu dinda membaca surat terakhir dari teduh

Sekarang sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak berbicara. Dan sekarang dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian ”teduh” bersama dengan rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.

Suatu Sore, di Bawah Tiang Bendera




Keringat mengalir deras di tubuhnya yang hitam. Butiran-butiran putih tersebut menggelinding seperti air hujan yang terhempas pada batu hitam mengkilat. Terik matahari tidak di pedulikannya, hatinya yang hangus lebih tersiksa dari jasadnya yang kini bermandikan panas matahari. Seandainya ia perempuan, pasti ia juga akan menangis, tapi ia laki-laki. Laki-laki yang sudah biasa terhempas, disudutkan keadaan, di tikam kenyataan yang pahit. Perjuangannya tiga tahun ini berujung pada kekecewaan yang sangat menggoncangkan jiwanya.

Dua buah kata berbunyi “Tidak Lulus” yang tertulis di kertas pengumuman kemaren menghanyutkan puing-puing harapannya selama ini.

Dua kata tersebut menari-nari dengan lincah di kepalanya, selincah tangannya mengayunkan cangkul di lahan miring tempat ia menanam tanaman muda sejak tiga tahun yang lalu. Ia dilahirkan di sebuah perkampungan kecil Si Mandi Angin, 67 km dari desa Tambusai, kecamatan Tambusai, kabupaten Rohul, Riau, tempat ia bersekolah. Secara ekonomi, orang tuanya yang bekerja sebagai buruh harian tidak mampu untuk membiayai sekolahnya, tambah lagi kedua orang tuanya menganggap pendidikan hanyalah formalitas untuk orang-orang berada saja.

“Sekolah pun ujung-ujungnya bakal jadi kuli juga toh…,” nasehat yang mumpuni dari emaknya ketika ia mengemasi beberapa helai pakaian dan ijazahnya ke dalam kardus mie, di suatu pagi ketika ia akan berangkat ke Tambusai melanjutkan pendidikannya. Dalam hati ia yakin dengan pendidikan ia bisa merobah nasibnya dan Tuhan pasti mendengar doa pengembara yang sedang menuntut ilmu. Maka berangkatlah ia pagi itu dengan tatapan lusuh bapaknya yang karatan jadi kuli perkebunan toke-toke bermata sipit dari Pekanbaru.
Nasib baik menemani langkahnya. Tidak hanya diterima ia di sekolah tersebut, kepala sekolah juga memberinya pekerjaan sebagai penjaga sekolah. Ia adalah angkatan pertama dari SMA N 4 Tambusai tersebut. Pulang sekolah, dengan rajin ia membersihkan pekarangan sekolah dan pagi-pagi sebelum belajar dimulai ia menyapu lantai kelas dan kantor guru. Lahan kosong di belakang kelas yang dulunya ditumbuhi gulma disulapnya menjadi lahan produktif. Ia menanam ubi kayu, cabe rawit dan jagung bergantian. Hasilnya ia bagi dua dengan pihak sekolah. Lumayan juga penghasilannya, tiap bulan ia juga menerima honor sebagai penjaga sekolah.
Otaknya memang pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang bodoh. Tapi semangatnya  dalam mengikuti pelajaran sangat tinggi. Guru-guru yang belum seberapa, maklum sekolah baru, sangat menyayanginya. Rasa sayang sebatas manusia yang memiliki hati nurani, sebab untuk lebih dari itu, di luar kemampuan mereka juga. Mereka tidak bisa memberikan materi pelajaran sebagaimana yang dianjurkan pemerintah. Alat penunjang belajar sangat kurang, boleh dikatakan tidak ada. Sebab yang tersedia hanya ruangan kelas dan stempel dari diknas bahwa sekolah ini sudah boleh beroperasi. Buku-buku pelajaran, jauh panggang dari api.
Pernah juga suatu kali sorang wanita paruh baya berseragam pemda datang ke sekolah. Mereka menjanjikan buku yang dialokasikan dari dana BOS, tapi sampai saat ini buku tersebut tak kunjung datang barangkali sudah di pangkas ‘BOS-BOS’ yang jadi mafia di dunia pendidikan.
Suatu hari, datang juga seorang sales dari toko buku di Pekanbaru ke sekolah mereka untuk menawarkan buku-buku pelajaran yang beragam seperti yang dimiliki anak-anak sekolah di kota. Dugaan si sales tidak meleset, tak satu pun bukunya yang laku. Saprianto dan beberapa kawannya yang rata-rata anak buruh kasar perkebunan sawit hanya bisa menelan liur untuk memiliki buku tersebut.
Dengan segala keterbatasan akhirnya sampai juga ia di ujung perjuangan. Ujian Nasional (UN) diselenggarakan untuk pertama kalinya di sekolah tersebut. Kepsek dan majelis guru menyadari betul persiapan sekolah mereka untuk menghadapi UN. Guru-guru yang jauh dari standar kompetensi dan murid-murid yang tidak jenius karena dari kecil memang selalu kurang gizi. Sempat juga terlintas di benak mereka untuk mengambil jalan pintas. Membeli lembar soal, tapi rasanya juga tak mungkin. Dari mana mereka dapat uang  pengisi ‘amplop’ untuk bekerjasama dengan instansi terkait.
***
Menjelang tengah hari, Saprianto masih melayangkan cangkulnya. Tak peduli sudah berapa ember keringat yang mengucur dari tubuhnya. Ia terhenti ketika ujung cangkulnya membentur sesuatu. “Nah ini dia,” bisiknya dalam hati, ketika ia yakin menemukan carocok pondasi utama dari ruang guru yang dipisahkan oleh gang sempit dari ruang kelas.
Saprianto berjalan tergesa-gesa menuju bengkel las ketok bang Regar. Bengkel tersebut terletak di pinggir jalan raya tak jauh dari gapura perbatasan Riau dengan Sumut.
“Ene opo, Sap..” sambut bang Regar  berbahasa Jawa ketika Saprianto sampai di depan bengkel, maksudnya menyambut tamu beramah-tamah dengan memakai bahasa ibu si tamu tapi kedengaran lucu karena logat bataknya tak bisa lepas dari lidahnya.
“Rental pompa airnya lagi, bang!”
“Berapa jam?”
“Hitung-hitungan kali la abang ini, besok pagi kuantar lagi, sekarang sudah tengah hari. Hitungannya setengah hari jugalah bang…”
“Oke…” jawab bang Regar sambil berjalan ke belakang mengambil mesin pompa air merek robin. Sap sudah sering merental mesin di situ untuk tanaman-tanamannya.
Sap membawa mesin dengan gerobak sorong. Sampai di bekas galiannya tadi ia mengambil linggis. Sebenarnya ia sudah letih tapi ia paksa juga menghantamkan linggis ko podasi yang ia gali tadi. Setelah pondasi utama hancur ia mengalirkan air dari sungai kecil di belakang sekolah yang kira-kira 10 meter di bawah sana. Mesin pompa berkekuatan 25 pk ini menaikan air dengan enteng. Sap mengalirkan ke saluran-saluran yang dibuatnya.
Ia duduk termenung seorang diri di bawah sebuah pokok sawit. Dua hari sekolah sepi. Kepsek dan para guru tidak berani datang ke sekolah. 36 siswa sekolah tersebut, tidak seorang pun yang lulus. Mereka takut kalau-kalau murid-murid mengamuk. Tambah lagi beberapa kuli tinta sudah datang ke sekolah mereka, wartawan tersebut dengan senang hati akan mengekspos kegagalan mereka.
Tidak lama berselang ia trsenyum bangga. Bagian belakang bangunan sekolah mulai condong ke arah sungai, ia membiarkan mesin terus memompakan air berkekuatan tinggi ke pondasi sekolah yang sudah di obrak abriknya.
Atmosfir kecamatan Tambusai dinaungi mendung, tak lama kemudian hujan turun dengan lebat disertai petir sambar menyambar. Ia tersenyum makin lebar, gemuruh bangunan runtuh trdengar. Perlahan bangunan sekolahnya runtuh ke arah sungai.
Ia berlari-lari kegirangan di halaman sekolah, kemudian bersandar di tiang bendera, yang benderanya ia biarkan juga basah ku-yup seperti hatinya dan teman-teman sekelasnya, yang setiap senin melakukan upacara bendera dengan khidmat.
“Wartawan pasti akan segera berdatangan dan mewawancaraiku,” pikirnya dalam ha-ti. “Ini adalah moment yang tepat. Saat diwawancarai nanti aku akan akan berkirim sa-lam kepada menteri Pendidikan Nasional. Pak menteri pasti akan senang dapat salam dariku di hari Pendidikan Nasional yang akan diperingati beberapa hari lagi.” Senyumnya makin manis demi teringat jawaban-jawaban yang akan di berikannya kepada wartawan.
Ia membayangkan, ketika nanti ia melihat dirinya di tv, maka semua pejabat pemerintah, dan semua orang di seluruh Indonesia, bahkan dunia, akan tertawa keras sejadi-jadinya.***

Cermin seekor Burung



Ketika musim kemarau baru saja mulai. Seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara, mencari udara yang selalu dingin dan sejuk.
Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.
Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.
Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.
Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat menghampirinya. Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau. Dia menghardik si kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.
Si kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut. Si burung pipit semakin marah dan memaki maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.
Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya.
Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, si burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.
Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si burung, dan tamatlah riwayat si burung pipit ditelan oleh si kucing.
Hmm… tak sulit untuk menarik garis terang dari kisah ini, sesuatu yang acap terjadi dalam kehidupan kita: halaman tetangga tampak selalu lebih hijau; penampilan acap menjadi ukuran; yang buruk acap dianggap bencana dan tak melihat hikmah yang bermain di sebaliknya; dan merasa bangga dengan nikmat yang sekejap. Burung pipit itu adalah cermin yang memantulkan wajah kita…

KISAH KASIH SEPANJANG JALAN



Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.
Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak�c". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal�c
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini�c" bisikku perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....
Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.
***