Rasanya sudah terlepas semua beban yang dirasakan Aurel, siswi kelas XII SMU Harapan Bangsa ini telah menyelesaikan Ujian Akhir Sekolah nya, kini ia hanya tinggal menunggu saat-saat yang paling dinanti-nantikan yaitu pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional (UAN).
Hari ini rencananya ia akan pergi hang out bersama Dava kekasih Aurel, mereka baru jadian selama sekitar satu bulan, jadi gak heran kalau sekarang ini mereka sedang merasakan sebuah cinta yang begitu indah di antara mereka. Tepat pukul 9.30 pagi Dava datang menjemput Aurel di rumahnya, yang beralamat di daerah Buaran Jakarta Timur.
“Sorry ya, pasti udah nunggu lama,” Dava membuka percakapan diantara mereka.
“Ah, nggak kok kamu datang tepat waktu, sesuai janji kamu,” kata Aurel.
“Ya udah jalan yuk.” Dava menggenggam tangan Aurel sembari berpamitan kepada orang tua Aurel.
Setelah selesai menonton film di 21, mereka memutuskan untuk segera kembali ke rumah. Hal itu dilakukan karena Dava harus berlatih band bersama teman-temannya. Dava adalah seorang gitaris di bandnya.
“Nanti malem ke sini ya,” Aurel meminta Dava untuk datang menemuinya.
“Hmm, kayaknya ga bisa deh, aku cape banget nih,” Dava mengeluh. “Besok malem aja yah,” lanjut Dava. Aurel hanya bisa mengiyakan kata-kata kekasihnya itu.
Bel rumah Aurel telah memanggil penghuni rumah tersebut untuk segera menyambut seseorang yang telah menunggu di depan pintu rumah itu. Tak lama kemudian Aurel pun keluar. Setelah ia membuka pintu, seseorang yang telah ia nantikan sudah berdiri di depan pintu pagarnya dengan segala pesona cintanya.
“Itu buku apa?” Dava menanyakan tentang sebuah buku yang sedang dipegang Aurel.
“Hmm, ini aku lagi coba-coba bikin puisi,” kata Aurel. “Kamu bisa bikin puisi?” lanjut Aurel.
Dava hanya tersenyum mendengar kata-kata Aurel. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Aurel segera menyerahkan selembar kertas dan pena kepada Dava. Dava segera menuliskan kata-kata yang terangkai dengan indah.
Setelah selesai menulis Dava segera menyerahkan kertas tersebut kepada Aurel dan meminta untuk membacakannya. Di bawah cahaya bulan purnama yang diselimuti langit malam dan berhiaskan gemerlap sang bintang Aurel membacanya perlahan-lahan.
Jika di dunia ini, ada banyak orang yang sayang sama kamu
Aku pasti salah satunya…
Jika di dunia ini, hanya ada satu orang yang sayang sama kamu
Orang itu pasti aku…
jika di dunia ini, Tidak ada orang yang sayang sama kamu
Itu berarti, aku telah tiada…
Aurel terdiam sesaat setelah membaca tulisan dari Dava, ia merasakan kata-kata tersebut masuk ke dalam relung hatinya yang paling dalam dan sepertinya sudah tidak bisa keluar lagi.
“Dava, kayaknya waktu kita untuk bersama udah gak lama lagi deh,” kata Aurel dengan nada yang sedih.
“Kenapa?”
“Rencananya aku mau melanjutkan kuliah aku di Australia dan itu berarti kita harus berpisah.”
“Walaupun hal itu harus terjadi, hubungan kita ini gak boleh berakhir, cinta ini gak akan bisa dipisahkan apapun kecuali kematian, aku percaya kamu Aurel.”
Kemudian Dava memainkan sebuah lagu yang diciptakannya sendiri khusus buat Aurel. Lagu itu mengalun dengan lembut, syairnya yang begitu indah, diiringi melodi gitar yang menusuk kalbu yang senantiasa menenggelamkan kegelapan malam. Lagu itu sepertinya menjadi sebuah tanda perpisahan bagi mereka.
Ternyata Dava sudah ada di bandara sebelum kedatangan Aurel. Di tangannya terlihat sebuah gitar lengkap dengan tasnya.
“Aurel, gitar ini aku berikan buat kamu sebagai kenang-kenangan dariku dan sebagai pengganti diriku jika kamu merindukan aku, dan aku mohon saat kamu kembali ke sini lagi kamu harus bisa memainkannya dan kamu harus bisa memainkan lagu yang waktu itu aku ciptakan buat kamu.” Dava menggenggam erat kedua tangan Auerel. Air mata jatuh membasahi pipi keduanya.
“Dava, aku janji aku pasti bisa melakukan itu semua. Sekarang aku minta berikan aku senyuman indahmu dan peluklah erat tubuhku seperti kamu tak akan pernah membiarkanku pergi, saat kukembali nanti aku akan menyanyikan lagu itu dengan gitar ini, aku janji.”
Mereka berpelukan erat seperti lupa akan segalanya. Dengan berat hati Aurel segera meninggalkan Dava menuju pesawatnya. Air mata tak henti-hentinya membanjiri wajah mereka.
Selama ini Aurel dan Dava masih suka berhubungan lewat e-mail dan terkadang Aurel menelpon Dava yang berada di Jakarta untuk sekedar menanyakan kabar dan bagaimana kuliahnya. Suatu sore ia datang ke apartement Dimas dengan sebuah gitar di tangannya.
“Kamu sudah mulai mahir main gitarnya,” seru Dimas. “Kenapa sih, kayaknya kamu ingin sekali bisa bermain gitar, kamu suka banget ya sama musik?” lanjut Dimas, sambil memberikan minuman buat Aurel.
“Sebenarnya aku kurang suka sama gitar, tapi ada sesuatu yang memaksaku agar aku bisa melakukan ini semua,” jelas Aurel.
“Apa itu?”
“Ah sudahlah, sekarang kita lanjutkan saja dulu. Setelah aku lancar memainkan lagu ini baru aku ceritakan semuanya sama kamu.”
Setelah sekian lama berlatih akhirnya Aurel bisa menguasai alat musik petik yang diberikan oleh kekasihnya itu. Ia juga sudah bisa memainkan lagu yang diberikan Dava untuknya.
“Sekarang kamu sudah bisa memainkan lagu itu. Kamu pernah janji sama aku kalau kamu sudah bisa memainkan lagu itu, kamu akan menceritakan padaku tentang apa yang terjadi dengan kamu di balik ini semua,” kata Dimas.
“Baiklah aku akan menceritakan ini semua sama kamu. Lagu ini diberikan dan diciptakan khusus untukku oleh orang yang sangat aku sayangi. Sebelum kepergianku ke sini, ia memberikan aku sebuah gitar dan selembar teks lagu lengkap dengan susunan nada-nada nya. Ia memintaku untuk bisa memainkan lagu ini dengan gitar yang ia berikan. Sebentar lagi aku akan menemuinya karena aku belajar di sini hanya sampai bulan depan.”
Sebelum ke bandara ia terlebih dahulu datang ke apartement Dimas untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar nya, karena Dimaslah ia bisa main gitar dan bisa memenuhi janjinya terhadap Dava. Dimas juga bersedia mengantarka Aurel ke bandara.
“Good bye. Never try to forget me!” Itulah salam perpisahan dari Dimas.
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, Aurel akhirnya sampai di bandara. Di sana ia dijemput kedua orang tuanya. Aurel tampak begitu lelah, oleh karena itu mereka segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah Aurel segera menghempaskan tubuhnya ke kasur yang telah lama ia rindukan.
“Aku akan segera manemuimu,” kata Aurel dalam hati sesaat setelah ia melihat gitar pemberian Dava yang sedang bersandar di dinding kamrnya. Gitar itu seakan tersenyum melihat Aurel.
Keesokan harinya Aurel pergi untuk menemui Dava. Ia pergi ke tempat di mana Dava biasa bermain band, tak lupa ia membawa gitar pemberian Dava. Ia ingin memberikan sebuah kejutan buat Dava. Namun studio yang biasanya ramai dikunjungi teman-teman Dava sore ini tampak sepi tak seperti biasanya. Dava sendiri juga tak terlihat batang hidungnya. Aurel tampak kecewa dengan hal itu, ia memutuskan untuk kembali ke rumah nya.
Aurel kini mencoba untuk langsung menemui Dava di rumahnya. Ia menyanyikan lagu yang diciptakan Dava di depan pagar rumah Dava seperti seorang pengamen. Tak lama kemudian seseorang keluar dari rumah tersebut.
“Aurel, kapan kamu sampai di Jakarta?” tanya ibunda Dava sembari mengajak Aurel masuk.
“Hmm, dua hari yang lalu, Tante.” Aurel sedikit kecewa karena bukan Dava yang menyambut kedatangannya.
“Dava ke mana, Tante? Kok dari tadi belum kelihatan?” Aurel tak bisa menyembunyikan kerinduannya terhadap Dava.
Namun ibunda Dava tidak menjawab pertanyaan Aurel. Ia justru terlihat meneteskan air mata yang jatuh membasahi kedua pipinya. Entah apa yang sedang ia pikirkan sehingga ia meneteskan air matanya, lalu ia memeluk Aurel dengan begitu erat.
“A..ada apa, Tante?’ tanya Aurel dengan nada yang terbata-bata karena heran.
“Aurel, dua bulan yang lalu Dava pergi, namun ia pergi tidak seperti kamu yang hanya pergi ke Australia dan hanya untuk sementara, tapi Dava pergi ke lain dunia dan ia juga pergi untuk selama-lamanya.” Air matanya semakin mengalir deras.
“Da…Dava meninggal, Tante?” Bagai tersambar petir di siang bolong Aurel kaget hingga ia nyaris pingsan setelah ibunda Dava mengiyakan pertanyaannya.
“Tante, ceritain Aurel kenapa semua ini bisa terjadi, dan Aurel mohon, Tante tunjukkan di mana Dava dimakamkan, Aurel ingin ke sana sekarang juga!” Betapa sakitnya hati Aurel saat ini, ia seperti orang yang sudah tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Setibanya di pemakaman ia langsung memeluk makam Dava, sungguh sebuah kesedihan yang mungkin tidak akan pernah bisa disembuhkan.
“Kenapa kamu pergi? Kamu janji akan menunggu aku pulang dan aku sudah memenuhi janjiku untuk bisa memainkan lagu darimu dengan gitar yang juga pemberian darimu, tapi kenapa…… kenapa kamu pergi untuk selama-lamanya dan meninggalkan aku sendiri, membiarkan aku hancur karena kehilangan kamu.”
“Aurel, cukup, relakan dia pergi! Kita harus pulang sekarang hari sudah semakin sore, Dava akan bahagia di sisi-Nya.” Mereka pun berlalu meninggalkan makam Dava. Namun sebelum pulang ibunda Dava memberikan Aurel sebuah surat yang ditulis Dava sebelum kepergiannya.
“Ini surat dari Dava, kamu bacanya di rumah saja. Ia berpesan cuma kamu yang boleh membuka surat ini,” jelas ibunda Dava.
Aurel, terima kasih karena kamu sudah menepati janji kamu dan maaf aku nggak bisa nepatin janjiku sama kamu. Aku nggak bisa melawan penyakit yang telah aku derita sejak kecil. Kamu harus mengerti Aurel semua ini bukan keinginanku, semua ini kehendak Tuhan. Aku nggak bisa berbuat apa-apa karena aku yakin ini yang terbaik darinya untuk aku juga utuk kamu.
Kamu harus merelakan kepergianku. Aurel, nyanyikanlah lagu itu ketika kamu merindukan aku, percayalah aku akan selalu hidup di dalam hatimu.
Begitulah isi surat dari Dava. Tak terbayangkan lagi berapa banyak air mata yang telah dikeluarkan Aurel hingga membasahi lantai kamarnya. Setelah kejadian itu Aurel hanya bisa melewati hari-harinya dengan berdiam diri dengan memegang gitar pemberian Dava.
Hari ini rencananya ia akan pergi hang out bersama Dava kekasih Aurel, mereka baru jadian selama sekitar satu bulan, jadi gak heran kalau sekarang ini mereka sedang merasakan sebuah cinta yang begitu indah di antara mereka. Tepat pukul 9.30 pagi Dava datang menjemput Aurel di rumahnya, yang beralamat di daerah Buaran Jakarta Timur.
“Sorry ya, pasti udah nunggu lama,” Dava membuka percakapan diantara mereka.
“Ah, nggak kok kamu datang tepat waktu, sesuai janji kamu,” kata Aurel.
“Ya udah jalan yuk.” Dava menggenggam tangan Aurel sembari berpamitan kepada orang tua Aurel.
Setelah selesai menonton film di 21, mereka memutuskan untuk segera kembali ke rumah. Hal itu dilakukan karena Dava harus berlatih band bersama teman-temannya. Dava adalah seorang gitaris di bandnya.
“Nanti malem ke sini ya,” Aurel meminta Dava untuk datang menemuinya.
“Hmm, kayaknya ga bisa deh, aku cape banget nih,” Dava mengeluh. “Besok malem aja yah,” lanjut Dava. Aurel hanya bisa mengiyakan kata-kata kekasihnya itu.
Bel rumah Aurel telah memanggil penghuni rumah tersebut untuk segera menyambut seseorang yang telah menunggu di depan pintu rumah itu. Tak lama kemudian Aurel pun keluar. Setelah ia membuka pintu, seseorang yang telah ia nantikan sudah berdiri di depan pintu pagarnya dengan segala pesona cintanya.
“Itu buku apa?” Dava menanyakan tentang sebuah buku yang sedang dipegang Aurel.
“Hmm, ini aku lagi coba-coba bikin puisi,” kata Aurel. “Kamu bisa bikin puisi?” lanjut Aurel.
Dava hanya tersenyum mendengar kata-kata Aurel. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Aurel segera menyerahkan selembar kertas dan pena kepada Dava. Dava segera menuliskan kata-kata yang terangkai dengan indah.
Setelah selesai menulis Dava segera menyerahkan kertas tersebut kepada Aurel dan meminta untuk membacakannya. Di bawah cahaya bulan purnama yang diselimuti langit malam dan berhiaskan gemerlap sang bintang Aurel membacanya perlahan-lahan.
Jika di dunia ini, ada banyak orang yang sayang sama kamu
Aku pasti salah satunya…
Jika di dunia ini, hanya ada satu orang yang sayang sama kamu
Orang itu pasti aku…
jika di dunia ini, Tidak ada orang yang sayang sama kamu
Itu berarti, aku telah tiada…
Aurel terdiam sesaat setelah membaca tulisan dari Dava, ia merasakan kata-kata tersebut masuk ke dalam relung hatinya yang paling dalam dan sepertinya sudah tidak bisa keluar lagi.
“Dava, kayaknya waktu kita untuk bersama udah gak lama lagi deh,” kata Aurel dengan nada yang sedih.
“Kenapa?”
“Rencananya aku mau melanjutkan kuliah aku di Australia dan itu berarti kita harus berpisah.”
“Walaupun hal itu harus terjadi, hubungan kita ini gak boleh berakhir, cinta ini gak akan bisa dipisahkan apapun kecuali kematian, aku percaya kamu Aurel.”
Kemudian Dava memainkan sebuah lagu yang diciptakannya sendiri khusus buat Aurel. Lagu itu mengalun dengan lembut, syairnya yang begitu indah, diiringi melodi gitar yang menusuk kalbu yang senantiasa menenggelamkan kegelapan malam. Lagu itu sepertinya menjadi sebuah tanda perpisahan bagi mereka.
***
“Aurel, ayo cepat nanti kamu ketinggalan pesawat,” teriak mamanya dari lantai bawah rumahnya. Aurel masih terdiam di kamarnya menunggu kehadiran Dava. Ia begitu resah karena Dava tak kunjung datang padahal ini hari terakhirnya di Indonesia. Sampai tiba saatnya Aurel pergi meninggalkan rumahnya, Dava tak juga datang. Air matanya pun tak lagi bisa terbendung.Ternyata Dava sudah ada di bandara sebelum kedatangan Aurel. Di tangannya terlihat sebuah gitar lengkap dengan tasnya.
“Aurel, gitar ini aku berikan buat kamu sebagai kenang-kenangan dariku dan sebagai pengganti diriku jika kamu merindukan aku, dan aku mohon saat kamu kembali ke sini lagi kamu harus bisa memainkannya dan kamu harus bisa memainkan lagu yang waktu itu aku ciptakan buat kamu.” Dava menggenggam erat kedua tangan Auerel. Air mata jatuh membasahi pipi keduanya.
“Dava, aku janji aku pasti bisa melakukan itu semua. Sekarang aku minta berikan aku senyuman indahmu dan peluklah erat tubuhku seperti kamu tak akan pernah membiarkanku pergi, saat kukembali nanti aku akan menyanyikan lagu itu dengan gitar ini, aku janji.”
Mereka berpelukan erat seperti lupa akan segalanya. Dengan berat hati Aurel segera meninggalkan Dava menuju pesawatnya. Air mata tak henti-hentinya membanjiri wajah mereka.
***
Di Australia Aurel bertemu dengan Dimas, kebetulan ia adalah teman satu universitas Aurel yang kebetulan jua berasal dari Indonesia. Dimas dikenal sebagai seorang yang pandai memainkan gitar, hal itu tentu tidak disia-siakan Aurel untuk belajar gitar dengannya. Setiap harinya ia selalu menyempatkan diri untuk berlatih gitar dengan Dimas setelah jam kuliah selesai. Dimas sendiri juga tidak pernah merasa bosan saat mengajari Aurel bermain gitar.Selama ini Aurel dan Dava masih suka berhubungan lewat e-mail dan terkadang Aurel menelpon Dava yang berada di Jakarta untuk sekedar menanyakan kabar dan bagaimana kuliahnya. Suatu sore ia datang ke apartement Dimas dengan sebuah gitar di tangannya.
“Kamu sudah mulai mahir main gitarnya,” seru Dimas. “Kenapa sih, kayaknya kamu ingin sekali bisa bermain gitar, kamu suka banget ya sama musik?” lanjut Dimas, sambil memberikan minuman buat Aurel.
“Sebenarnya aku kurang suka sama gitar, tapi ada sesuatu yang memaksaku agar aku bisa melakukan ini semua,” jelas Aurel.
“Apa itu?”
“Ah sudahlah, sekarang kita lanjutkan saja dulu. Setelah aku lancar memainkan lagu ini baru aku ceritakan semuanya sama kamu.”
Setelah sekian lama berlatih akhirnya Aurel bisa menguasai alat musik petik yang diberikan oleh kekasihnya itu. Ia juga sudah bisa memainkan lagu yang diberikan Dava untuknya.
“Sekarang kamu sudah bisa memainkan lagu itu. Kamu pernah janji sama aku kalau kamu sudah bisa memainkan lagu itu, kamu akan menceritakan padaku tentang apa yang terjadi dengan kamu di balik ini semua,” kata Dimas.
“Baiklah aku akan menceritakan ini semua sama kamu. Lagu ini diberikan dan diciptakan khusus untukku oleh orang yang sangat aku sayangi. Sebelum kepergianku ke sini, ia memberikan aku sebuah gitar dan selembar teks lagu lengkap dengan susunan nada-nada nya. Ia memintaku untuk bisa memainkan lagu ini dengan gitar yang ia berikan. Sebentar lagi aku akan menemuinya karena aku belajar di sini hanya sampai bulan depan.”
***
Setelah dua tahun kuliah di Australia, kini tiba saatnya bagi Aurel untuk kembali ke Indonesia. Ia sudah lama menantikan saat-saat kepulangannya ini. Ia sengaja tidak memberitahukan Dava tentang kepulangannya dari Australia karena ia ingin memberikan sebuah kejutan untuk Dava.Sebelum ke bandara ia terlebih dahulu datang ke apartement Dimas untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar nya, karena Dimaslah ia bisa main gitar dan bisa memenuhi janjinya terhadap Dava. Dimas juga bersedia mengantarka Aurel ke bandara.
“Good bye. Never try to forget me!” Itulah salam perpisahan dari Dimas.
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, Aurel akhirnya sampai di bandara. Di sana ia dijemput kedua orang tuanya. Aurel tampak begitu lelah, oleh karena itu mereka segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah Aurel segera menghempaskan tubuhnya ke kasur yang telah lama ia rindukan.
“Aku akan segera manemuimu,” kata Aurel dalam hati sesaat setelah ia melihat gitar pemberian Dava yang sedang bersandar di dinding kamrnya. Gitar itu seakan tersenyum melihat Aurel.
Keesokan harinya Aurel pergi untuk menemui Dava. Ia pergi ke tempat di mana Dava biasa bermain band, tak lupa ia membawa gitar pemberian Dava. Ia ingin memberikan sebuah kejutan buat Dava. Namun studio yang biasanya ramai dikunjungi teman-teman Dava sore ini tampak sepi tak seperti biasanya. Dava sendiri juga tak terlihat batang hidungnya. Aurel tampak kecewa dengan hal itu, ia memutuskan untuk kembali ke rumah nya.
Aurel kini mencoba untuk langsung menemui Dava di rumahnya. Ia menyanyikan lagu yang diciptakan Dava di depan pagar rumah Dava seperti seorang pengamen. Tak lama kemudian seseorang keluar dari rumah tersebut.
“Aurel, kapan kamu sampai di Jakarta?” tanya ibunda Dava sembari mengajak Aurel masuk.
“Hmm, dua hari yang lalu, Tante.” Aurel sedikit kecewa karena bukan Dava yang menyambut kedatangannya.
“Dava ke mana, Tante? Kok dari tadi belum kelihatan?” Aurel tak bisa menyembunyikan kerinduannya terhadap Dava.
Namun ibunda Dava tidak menjawab pertanyaan Aurel. Ia justru terlihat meneteskan air mata yang jatuh membasahi kedua pipinya. Entah apa yang sedang ia pikirkan sehingga ia meneteskan air matanya, lalu ia memeluk Aurel dengan begitu erat.
“A..ada apa, Tante?’ tanya Aurel dengan nada yang terbata-bata karena heran.
“Aurel, dua bulan yang lalu Dava pergi, namun ia pergi tidak seperti kamu yang hanya pergi ke Australia dan hanya untuk sementara, tapi Dava pergi ke lain dunia dan ia juga pergi untuk selama-lamanya.” Air matanya semakin mengalir deras.
“Da…Dava meninggal, Tante?” Bagai tersambar petir di siang bolong Aurel kaget hingga ia nyaris pingsan setelah ibunda Dava mengiyakan pertanyaannya.
“Tante, ceritain Aurel kenapa semua ini bisa terjadi, dan Aurel mohon, Tante tunjukkan di mana Dava dimakamkan, Aurel ingin ke sana sekarang juga!” Betapa sakitnya hati Aurel saat ini, ia seperti orang yang sudah tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Setibanya di pemakaman ia langsung memeluk makam Dava, sungguh sebuah kesedihan yang mungkin tidak akan pernah bisa disembuhkan.
“Kenapa kamu pergi? Kamu janji akan menunggu aku pulang dan aku sudah memenuhi janjiku untuk bisa memainkan lagu darimu dengan gitar yang juga pemberian darimu, tapi kenapa…… kenapa kamu pergi untuk selama-lamanya dan meninggalkan aku sendiri, membiarkan aku hancur karena kehilangan kamu.”
“Aurel, cukup, relakan dia pergi! Kita harus pulang sekarang hari sudah semakin sore, Dava akan bahagia di sisi-Nya.” Mereka pun berlalu meninggalkan makam Dava. Namun sebelum pulang ibunda Dava memberikan Aurel sebuah surat yang ditulis Dava sebelum kepergiannya.
“Ini surat dari Dava, kamu bacanya di rumah saja. Ia berpesan cuma kamu yang boleh membuka surat ini,” jelas ibunda Dava.
Aurel, terima kasih karena kamu sudah menepati janji kamu dan maaf aku nggak bisa nepatin janjiku sama kamu. Aku nggak bisa melawan penyakit yang telah aku derita sejak kecil. Kamu harus mengerti Aurel semua ini bukan keinginanku, semua ini kehendak Tuhan. Aku nggak bisa berbuat apa-apa karena aku yakin ini yang terbaik darinya untuk aku juga utuk kamu.
Kamu harus merelakan kepergianku. Aurel, nyanyikanlah lagu itu ketika kamu merindukan aku, percayalah aku akan selalu hidup di dalam hatimu.
Begitulah isi surat dari Dava. Tak terbayangkan lagi berapa banyak air mata yang telah dikeluarkan Aurel hingga membasahi lantai kamarnya. Setelah kejadian itu Aurel hanya bisa melewati hari-harinya dengan berdiam diri dengan memegang gitar pemberian Dava.